STRATEGI
PEMBINAAN PUSTAKAWAN DALAM PENGELOLAAN PERPUSTAKAAN ELEKTRONIK
Pendahuluan
Sebagai agen informasi, perpustakaan
merupakan pusat dokumentasi dan informasi melaksanakan fungsi pengumpulan,
pengolahan, penyimpanan, penyajian dan penyebaran informasi untuk kepentingan
pemakainya. Implementasi information and communication technology (ICT) di
perpustakaan merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja sehingga dapat
diwujudkan layanan prima bagi pengguna. Dalam mewujudkan layanan prima,
perpustakaan perlu:
1.
Meningkatkan efisiensi kerja Dengan penerapan teknologi informasi, waktu yang
diperlukan untuk menghasilkan suatu produk atau melaksanakan kegiatan menjadi
lebih singkat, sehingga produktivitas akan meningkat. Sebagai contoh:
pengolahan bahan pustaka/dokumen, kemas ulang informasi, pelaksanaan layanan
informasi dapat dilaksanakan secara lebih cepat.
2.
Meningkatkan efektifitas kerja Dengan penerapan teknologi informasi, kegiatan
dapat dilaksanakan secara lebih efektif sehingga mutu produk dihasilkan akan
meningkat. Sebagai contoh: pene1usuran informasi dapat dilakukan ke lebih
banyak sumber, sehingga layanan informasi yang diberikan akan lebih cepat dan
akurat.
3.
Memperluas jaringan kerja sama (networking) Dengan penerapan teknologi
informasi, kerja sama dalam penyelenggaraan layanan informasi dapat
dilaksanakan dalam lingkup yang lebih luas dan secara lebih cepat. Sebagai
contoh: penyediaan informasi dapat dilakukan secara bekerja sama (interlibrary)
dengan lebih banyak sumber sehingga layanan informasi yang diberikan akan lebih
cepat dan akurat.
4. Memperbanyak jenis
produksi/layanan informasi Penerapan teknologi informasi memungkinkan
diversifikasi atau penyelenggaraan produk-produk baru dalam layanan pusat
dokumentasi dan informasi, seperti layanan informasi secara online, kemas ulang
informasi, alih media/format bahan pustaka, penyelenggaraan layanan dokumentasi
dan informasi digital, dan sebagainya.
Bila hal di atas terwujud maka tidak mustahil,
perpustakaan elektronik akan segera terwujud. Penerapan teknologi informasi
(TI) boleh dikatakan berhasil dan tepat guna sehingga kepuasan pengguna
meningkat. Dengan demikian orang yang bekerja di perpustakaan dituntut untuk
menguasai teknologi informasi agar dapat melayani pengguna secara lebih
professional. Salah satu orang yang bekerja di perpustakaan adalah para
pustakawan. Menurut Tjuparmah (2002 dalam Yunus, 2007; 27), idealnya seorang
pustakawan memiliki empat belas kriteria sebagai berikut: 1) memiliki
manajerial kepustakawanan; 2) memahami ilmu jiwa dan pendidikan; 3) menanggapi
perkembangan teknologi bibliografis yang sangat padat inovasi di dalam dunia
TI; 4) menunjukkan sosok sebagai seorang generalis, yaitu berkarakter knowing
something about everything dengan rentang penguasaan yang panjang; 5) memiliki
kemampuan mengajar melalui komputer; 6) terampil mengolah, mendiversifikasikan
dan memberdayakan informasi berbasis komputer; 7) mampu berkreasi melalui
promosi koleksi non buku (monograf); 8) memiliki ketajaman menganalisis makna
isi koleksi; 9) memahami trend perkembangan masyarakat dan lingkungan; 10)
menyadari kelasnya yang tergolong profesional; 11) mendalami informasi dan ilmu
komunikasi; 12) memiliki sense of media yang baik; 13) sebagai subject
specialist; dan 14) menampilkan unjuk kerja terpuji. June Abbas (1997) dalam
artikelnya Library profession and the internet : implication and scenarios of
change menyebutkan seorang pustakawan diantaranya adalah sebagai konsultan
informasi dan kolaborator dengan penyedia jasa informasi, di samping tugasnya
sebagai pengelola pengetahuan. Pergeseran paradigma ini hendaknya dicermati
oleh pustakawan, bahwa saat ini merupakan jaman perubahan dari perpustakaan
tradisional menjadi perpustakaan modern berbasis IT. Bagaimana strategi
pustakawan atas perubahan paradigma di atas ?
Peningkatan
Kompetensi Pustakawan
Peningkatan kompetensi yang dilakukan oleh pustakawan
saat ini telah gencar dilakukan, baik oleh institusi maupun pustakawan itu
sendiri. Adanya seminarseminar dan pelatihan membuktikan bahwa pustakawan telah
menyadari pergeseran paradigma tersebut. Apa kompetensi yang harus dipenuhi
agar pustakawan memiliki kemampuan khusus, yang lebih tepatnya saya sebut
sebagai pustakawan plus? Menanggapi hal tersebut Special Libraries Association
(SLA) dalam sidang tahunan 1996 (paper : revised 2003) menyimpulkan bahwa
terdapat dua jenis kompetensi profesional dan kompetensi personal. Kompetensi
profesional menyangkut pengetahuan praktis tentang sumber-sumber informasi,
cara akses informasi, kemampuan menangani peralatan teknologi Informasi (baik
perangkat keras misalnya scanner maupun perangkat lunak misalnya Online Public
Access Catalog (OPAC) dan informasi manajerial yang kesemuanya dapat dirinci
menjadi: 1) mengatur organisasi informasi; 2) mengatur sumber-sumber informasi;
3) mengatur berbagai layanan informasi; dan 4) menerapkan "alat"
teknologi informasi. Kompetensi personal merupakan kecakapan, keahlian, sikap
dan nilai yang memungkinkan pustakawan bekerja secara efisien dan memberikan
sumbangsih positif bagi profesi, institusi dan pengguna perpustakaan, dimulai
menjadi komunikator yang baik, untuk dapat menunjukkan nilai tambah atas
karyanya dan selalu berpikir positif dan fleksibel atas berbagai perubahan di
lingkungan perpustakaan. Kesemuanya itu terangkum dalam kompetensi inti (core
competencies) dimana terdapat kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang
pustakawan.
Kerjasama/Kolaborasi antar
Pustakawan, Praktisi TI dan Pengguna
Kolaborasi
atau kerjasama menurut Young dan Mack (1959; 138 dalam Soekanto, 1992; 78)
adalah salah satu bentuk interaksi sosial. Kerjasama dalam makalah ini dimaknai
secara lebih sempit, yakni suatu usaha bersama antara orang perorangan atau
kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Menurut
Cooley (1930; 176 dalam Soekanto, 1992; 80) kerjasama timbul apabila orang
menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingankepentingan yang sama, dan pada
saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri
sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut. Bila kita kembali ke
uraian sebelumnya, rekan-rekan pustakawan yang bekerja perguruan tinggi-lah yang
memang cukup siap menghadapi paradigma teknologi informasi terhadap
perpustakaan di atas. Mengapa mereka begitu siap menghadapi gempuran teknologi
informasi yang berimbas pada perpustakaan? Ada beberapa hal; salah satunya
adalah mereka berinteraksi dengan akademisi yang notabene berinteraksi dengan
teknologi informasi (praktisi TI) dan apalagi bila di perguruan tinggi tersebut
terdapat jurusan teknologi informasi (TI)- nya. Di samping itu mereka memiliki
kemampuan yang cukup dalam aplikasi dan perkembangan TI. Lalu bagaimana sikap
kita sebagai pustakawan yang "merasa" kompetensi yang dimiliki
ternyata pas-pasan ? Salah satu jawaban adalah bekerjasama/ kolaborasi. Saat
ini wadah yang menghimpun pustakawan ialah Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI). Sedang
di dunia maya ialah The Indonesian CyberLibrary Society (ICS) yang merupakan
paguyuban atau komunitas perpustakaan dan pustakawan seluruh Indonesia yang
menggunakan internet sebagai media komunikasinya (Suryadiputra, 2001). Penulis
yakin masih banyak wadah yang menghimpun pustakawan-pustakawan baik dari
lingkup pekerjaan yang sesuai maupun area geografisnya. Lebih dari itu
hendaknya diantara pustakawan tergugah kesadaran untuk berkolaborasi dengan profesional
teknologi informasi secara individual atau kelembagaan guna memperluas potensi
dan kompetensinya dalam melayani informasi masyarakat.
Pustakawan
dan profesional teknologi informasi dalam melaksanakan tugasnya, masing-masing
memiliki pola kerja yang teratur atau rutin. Pola kerja ini dibangun oleh
perilaku keorganisasian. Perilaku keorganisasian merupakan telaah dan penerapan
pengetahuan tentang bagaimana orang-orang bertindak di dalam organisasi. Unsur
pokok dalam perilaku organisasi adalah orang, struktur, teknologi dan
lingkungan tempat organisasi beroperasi. Orang adalah yang membentuk sistem
sosial intern organisasi, struktur adalah sarana penentu hubungan resmi
orang-orang dalam organisasi dan teknologi sebagai penyedia sumberdaya yang
digunakan orang-orang untuk bekerja dan mempengaruhi tugas yang mereka lakukan.
Model
dan contoh di bawah ini adalah imbas ketika teknologi informasi diterapkan di
perpustakaan. Bagaimana dan mengapa profesional teknologi informasi tersebut
masuk kedalam sistim perpustakaan konvensional tidak dibahas dalam makalah ini.
Karena tujuan makalah ini hanya membuka pemahaman dan wawasan di antara
pustakawan bahwa ketika teknologi informasi diimplementasikan di perpustakaan
maka ia berpotensi secara berangsur-angsur menggeser paradigma perpustakaan
sebagai pemilik koleksi bahan pustaka menjadi penyedia akses koleksi bahan
pustaka tanpa kenal batasan ruang dan waktu. Dengan demikian tipologi
perpustakaan yang dipandang sebagai ruangan dipenuhi rak menjulang yang
dijejali buku, berganti menjadi sebuah perpustakaan kecil dengan berbagai
sarana akses terpasang (online)dan koleksi digital, serta cabang Perpustakaan
di dunia cyber yang memiliki beragam koleksi digital. Smee, North dan Jones
(New Library World; 102; 1160/1161, 2001) staf sebuah perusahaan TI di
Australia menuturkan pengalamannya membantu menangani kasus penerapan teknologi
informasi di perpustakaan, pada sebuah konferensi pustakawan tingkat
Asia-Pacific tahun 1999, bahwa untuk membangun dan mengembangkan sistem
teknologi informasi di perpustakaan memerlukan dukungan pustakawan, profesional
teknologi informasi dan pengguna. Mereka menyebut tiga komponen tersebut
sebagai segitiga nformasi. Konsep ini dilandasi adanya tiga aktifitas utama
perpustakaan, ialah pengelolaan, penyampaian dan pemanfaatan informasi. Tiga
aktifitas utama itu melibatkan tiga komponen utama, ialah pustakawan atau
manajer informasi, manajer atau profesional teknologi informasi dan pengguna.
Komponen-komponen tersebut memiliki kualifikasi dan fokus yang berbeda dalam
sebuah lingkungan kolaboratif. Misalnya, pustakawan memiliki spesialisasi
tradisional dalam organisasi dan koleksi informasi berbasis kertas bagi
pengguna ke akses secara fisik, sementara profesional komputer memiliki fokus
pada pengembangan pengetahuan tertentu masalah teknologi.
Perlunya
kolaborasi antara pustakawan dengan profesional teknologi informasi dilandasi
oleh kenyataan ketika teknologi menciptakan situasi di mana terdapat
peningkatan tumpang tindih dalam jasa antara Perpustakaan dan TI.
Smee, North and Jones
(2001) menyatakan bahwa kolaborasi adalah suatu hal yang sangat mendesak dalam
rangka menggunakan untuk modal pada kombinasi sumber daya intelektual dan
perspektif para profesional informasi yang variatif, kebutuhan untuk
mengembangkan metoda dan jasa manajemen informasi baru, kelangkaan sumber daya
keuangan dan manusia, tumpang tindih fungsi, saling ketergantungan staf
perpustakaan dan TI, dan keberlangsungan kelembagaan dalam lingkungan yang
sangat kompetitif.
Kebijakan
dan Strategi Institusional
Harus diakui, masih banyak
kebijakan dan strategi dalam pembinaan pustakawan bertolak belakang dengan
kebijakan umum yang terdapat di masing-masing institusi dimana pustakawan
bekerja. Perpustakaan seolah-olah menjadi tempat "buangan" bagi
karyawan yang tidak berprestasi dalam institusi tersebut sehingga profesi
pustakawan tidak begitu menarik. Ketidaktertarikan tersebut menyebabkan orang
yang bekerja di perpustakaan memiliki standar kemampuan (baca: kompetensi) yang
seadanya, sehingga daya tarik perpustakaan
semakin rendah, tidak ada daya
cipta (kreasi) apalagi menciptakan layanan prima yang bermutu.
Perlu adanya kompetensi dasar
sehingga individu yang akan menempati perpustakaan tidak sembarangan dan asal -
asalan. Standar kompetensi menjadi penting untuk menjadi tolok ukur tingkat
profesionalisme pustakawan. SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia)
menyebutkan bahwa standar kompetensi ialah uraian kemampuan yang mencakup
pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja minimal yang harus dimiliki seseorang
untuk menduduki jabatan tertentu yang berlaku secara nasional, sehingga
individu yang dianggap berkompeten akan mendapat imbalan yang memadai baik dari
segi karir maupun penghasilan.
Standar
kompetensi jabatan fungsional pustakawan akan merujuk kepada standar kompetensi
yang berlaku secara internasional dengan melihat situasi dan kondisi yang ada
di lapangan, sehingga kompetensi teknologi informasi perlu diakomodasi di dalam
standar kompetensi pustakawan.
Penutup
Pustakawan
harus siap menghadapi perubahan paradigma perpustakaan. Pergeseran perubahan
dari perpustakaan tradisional menjadi perpustakaan modern berbasis teknologi
informasi dan komunikasi (lCT) seharusnya membuka peluang sekaligus tantangan
yang harus dihadapi oleh pustakawan. Untuk menghadapi perubahan tersebut
dibutuhkan peningkatan kompetensi yang memadai, adanya kolaborasi dengan
berbagai pihak yang paham mengenai seluk beluk teknologi informasi serta
interaksi antar pustakawan. Keberhasilan kompetensi tersebut kemudian diukur
dengan standar kompetensi yang baik nasional maupun internasional, sehingga
tidak mustahil pustakawan berkompetensi itulah yang menjadi pustakawan
profesional dan memang sangat dibutuhkan bagi perpustakaan-perpustakaan yang
ada di Indonesia.
Daftar
Pustaka
Abbas,
June (1997) The library profession and the internet: implications and scenarios
for chang. Diambil dari : http://edfu.lis.uitic.edu/ review/5abbas.html
Achmad
(2001) Profesionalisme Pustakawan di Era Global, disampaikan pada Rapat Kerja
Pusat XI Ikatan Pustakawan Indonesia X dan Seminar Ilmiah. Jakarta, 5-7
November 2001.
Astroza,
M T dan Sequeira, D (2000). Challenges in training new health information
professionals in Latin America. http://www.icm1.orglwed nesday/choice/
astroza/fina1.html
Feret,
B dan Marcinek, M (1999). The future of the academic library and the academic
librarian - a Delphi Study. http://educate.lib.
chalmers.se/IA.roceedcontents/chanpa p /feret.html.
Firman Gunawan (2000) Virtual
library dan Kemungkinan Implementasinya di RisTi sebagai salah satu institusi
riset di Indonesia, Visi Pustaka Vol. 2(2)
Santoso,
Joko (2001) Manajemen Perpustakaan Berbasis Pengetahuan. Visi Pustaka Vol.
3(1).
Seefeldt,
L. & Syre, L. (2003) Portals to the Past and to the Future Libraries in
Germany. Teks terjemahan oleh Dr. Diann Rush Feja. Hildersheim : George Olms
Verlag.
Soekanto,
Soerjono (1992) Pengantar: Sosiologi. Jakarta Rajawali.
URL
: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=85932&val=238, di
akses pada 19-01-2016, 17:02 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar